Setiap tahun, umat Islam di seluruh dunia menyambut datangnya Tahun Baru Hijriah. Namun, tahukah Anda bagaimana penanggalan ini bermula? Kisahnya membawa kita kembali ke masa kepemimpinan Sayyidina Umar bin Khattab, antara tahun 634 hingga 644 Masehi. Pada masa itu, belum ada sistem penanggalan yang seragam di antara kaum Muslimin. Masyarakat Arab kala itu masih menggunakan berbagai patokan waktu, seperti “Tahun Gajah” yang merujuk pada peristiwa Abrahah menyerang Ka’bah, atau patokan lain berdasarkan kejadian-kejadian besar setempat.

Kebutuhan akan sistem kalender yang terstruktur akhirnya muncul. Setelah berunding dengan para sahabat Nabi yang mulia, Sayyidina Umar mengambil keputusan monumental: peristiwa Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah akan dijadikan titik awal perhitungan kalender Islam.

Mengapa Hijrah? Pilihan ini bukanlah tanpa alasan kuat. Para sahabat sempat mempertimbangkan beberapa momen penting dalam hidup Nabi: kelahirannya, saat diangkat menjadi Rasul, atau bahkan wafatnya. Namun, setiap opsi memiliki kelemahan. Tanggal kelahiran dan pengangkatan Nabi kurang pasti, sementara memilih wafatnya Nabi akan membawa kesedihan yang mendalam setiap awal tahun.

Hijrah, di sisi lain, adalah tonggak sejarah yang jelas dan tak terbantahkan. Peristiwa ini bukan sekadar perpindahan fisik; ia adalah transformasi besar bagi dakwah Islam. Dari sanalah, sebuah peradaban baru dimulai di Madinah, masyarakat Muslim pertama terbentuk, dan masjid pertama didirikan. Hijrah menjadi simbol perjuangan, pengorbanan, dan kebangkitan Islam dari tekanan di Mekah menuju kejayaan.

Setelah titik awal ditetapkan, muncul pertanyaan berikutnya: bulan apa yang akan menjadi pembuka tahun? Meskipun perjalanan Hijrah secara fisik terjadi pada bulan Rabiul Awal, keputusan untuk hijrah sendiri telah ditetapkan di akhir bulan Dzulhijjah. Dengan pertimbangan tersebut, bulan Muharram akhirnya dipilih sebagai bulan pertama. Muharram juga memiliki keistimewaan sebagai salah satu dari empat bulan haram, bulan-bulan yang dimuliakan dalam Islam.

Demikianlah, lahirnya kalender Hijriah yang dimulai dengan bulan Muharram dan berlandaskan peristiwa agung Hijrah. Penanggalan ini bukan hanya sekadar deretan angka, melainkan cerminan perjalanan spiritual dan sejarah panjang umat Islam, mengajarkan kita tentang ketabahan, perubahan, dan harapan akan masa depan yang lebih baik.


berikut adalah bacaan doa awal dan akhir tahun Hijriah, seperti yang disebutkan dalam artikel NU Online:

Doa Akhir Tahun

Doa ini dibaca sebelum waktu Maghrib pada akhir tahun (tanggal 29 atau 30 Dzulhijjah).

Teks Arab: اللَّهُمَّ مَا عَمِلْتُ مِنْ عَمَلٍ فِي هَذِهِ السَّنَةِ مَا نَهَيْتَنِي عَنْهُ وَلَمْ أَتُبْ مِنْهُ وَحَكُمْتَ فِيهَا عَلَيَّ بِفَضْلِكَ بَعْدَ قُدْرَتِكَ عَلَى عُقُوْبَتِي وَدَعَوْتَنِي إِلَى التَّوْبَةِ مِنْ بَعْدِ جَرَاءَتِي عَلَى مَعْصِيَتِكَ فَإِنِّي اسْتَغْفَرْتُكَ فَاغْفِرْ لِي وَمَا عَمِلْتُ فِيهَا مِمَّا تَرْضَى وَوَعَدْتَنِي عَلَيْهِ الثَّوَابَ فَأَسْئَلُكَ أَنْ تَتَقَبَّلَ مِنِّي وَلَا تَقْطَعُ رَجَائِي مِنْكَ يَا كَرِيمُ

Transliterasi Latin: Allâhumma mâ ‘amiltu min ‘amalin fî hâdzihi sanati mâ nahaitanî ‘anhu, wa lam atub minhu, wa hamalta fîhâ ‘alayya bi fadhlika ba’da qudratika ‘alâ ‘uqûbatî, wa da’autanî ilat taubati min ba’di jarâ’atî ‘alâ ma’shiyatik. Fa innî astaghfiruka, faghfirlî wa mâ ‘amiltu fîhâ mimmâ tardhâ, wa wa’attanî ‘alaihits tsawâba, fa’as’aluka an tataqabbala minnî wa lâ taqtha’ rajâî minka yâ karîm.

Arti: “Tuhanku, aku meminta ampun atas perbuatanku di tahun ini yang termasuk Kau larang–sementara aku belum sempat bertobat, perbuatanku yang Kau maklumi karena kemurahan-Mu–sementara Kau mampu menyiksaku, dan perbuatan (dosa) yang Kau perintahkan untuk tobat–sementara aku menerjangnya yang berarti mendurhakai-Mu. Tuhanku, aku berharap Kau menerima perbuatanku yang Kau ridhai di tahun ini dan perbuatanku yang terjanjikan pahala-Mu. Janganlah Kau membuatku putus asa. Wahai Tuhan Yang Maha Pemurah.”


Doa Awal Tahun

Doa ini dibaca setelah waktu Maghrib pada tanggal 1 Muharram. Dianjurkan untuk dibaca sebanyak 3 kali , dengan harapan pembacanya mendapatkan anugerah dan kemurahan Allah di tahun yang baru. Perhitungan tahun Hijriah memang dimulai setelah terbenamnya matahari.

Teks Arab: اللَّهُمَّ أَنْتَ الأَبَدِيُّ القَدِيمُ الأَوَّلُ وَعَلَى فَضْلِكَ العَظِيمِ وَكَرِيمِ جُودِكَ المُعَوَّلُ ، وَهُذَا عَامٌ جَدِيدٌ قَدْ أَقْبَلَ، أَسْأَلُكَ العِصْمَةَ فِيْهِ مِنَ الشَّيْطَانِ وَأَوْلِيَائِهِ ، وَالعَوْنَ عَلَى هَذِهِ النَّفْسِ الأَمَّارَةِ بِالسُّوْءِ، وَالاشْتِغَالَ بِمَا يُقَرِّبُنِي إِلَيْكَ زُلْفَى يَا ذَا الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ

Transliterasi Latin: Allâhumma antal abadiyyul qadîmul awwal. Wa ‘alâ fadhlikal ‘azhîmi wa karîmi jūdikal mu’awwal. Hâdzâ ‘âmun jadîdun qad aqbal. As’alukal ‘ishmata fihi minas syaithâni wa auliyâ’ih, wal ‘auna ‘alâ hâdzihin nafsil ammârati bis sû’l, wal isytighâla bimâ yuqarribunî ilaika zulfâ, yâ dzal jalali wal ikrâm.

Arti: “Tuhanku, Kau yang Abadi, Qadim, dan Awal. Atas karunia-Mu yang besar dan kemurahan-Mu yang mulia, Kau menjadi pintu harapan. Tahun baru ini sudah tiba. Aku berlindung kepada-Mu dari bujukan Iblis dan para walinya di tahun ini. Aku pun mengharap pertolongan-Mu dalam mengatasi nafsu yang kerap mendorongku berlaku jahat. Kepada-Mu, aku memohon bimbingan agar aktivitas keseharian mendekatkanku pada rahmat-Mu. Wahai Tuhan Pemilik Kebesaran dan Kemuliaan.”

Sumber doa-doa ini diambil dari kitab Maslakul Akhyar karya Mufti Jakarta abad ke-19-20 M, Habib Utsman bin Yahya.

Sumber: Sejarah Tahun Baru Islam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *